Sabtu, 06 Juni 2009

Jual Beli Menurut Islam

PENDAHULUAN

Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya yang mulia demikian pula Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dalam sunnahnya yang suci beberapa hukum muamalah, karena butuhnya manusia akan hal itu, dan karena butuhnya manusia kepada makanan yang dengannya akan menguatkan tubuh, demikian pula butuhnya kepada pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya dari berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaanya.
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus, dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi.
HUKUM JUAL BELI

Hukum Jual Beli
Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as Sunnah, ijma serta qiyas :

Allah Ta'ala berfirman : " Dan Allah menghalalkan jual beli Al Baqarah"
Allah Ta'ala berfirman : " tidaklah dosa bagi kalian untuk mencari keutaman (rizki) dari Rabbmu "
(Al Baqarah : 198, ayat ini berkaitan dengan jual beli di musim haji)

Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "Dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduianya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya"
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)

Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuaitu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang dikehendaki. .

Akad Jual Beli :
Akad jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan :
• Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan " saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan ucapan "saya beli "
• Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangan kepadanya (pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar (telah ditentukan).
Dan kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus :
Berkata Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah : jual beli Muathoh ada beberapa gambaran
1. Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan pembeli mengambilnya seperti ucapan " ambilah baju ini dengan satu dinar, maka kemudian diambil, demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti mengucapkan "ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya.
2. Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu jaminan dalam perjanjian.(dihutangkan)
3. Keduanya tidak mengucapkan lapadz apapun, bahkan ada kebiasaan yaitu meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang telah dihargai.

Syarat Sah Jual Beli
Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut adalah sbb :

Bagi yang beraqad :
1. Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa haq (sesuatu yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta'ala " kecuali jika jual beli yang saling ridha diantara kalian ", dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas keridhan" (HR. Ibnu Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya), adapun apabila keterpaksaan itu adalah perkara yang haq (dibanarkan syariah), maka sah jual belinya. Sebagaimana seandainya seorang hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa maka sah jual belinya.
2. Yang beraqad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari anak kecil, bodoh, gila, hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya.
(catatan : jual beli yang tidak boleh anak kecil melakukannya transaksi adalah jual beli yang biasa dilakukan oleh orang dewasa seperti jual beli rumah, kendaraan dsb, bukan jual beli yang sifatnya sepele seperti jual beli jajanan anak kecil, ini berdasarkan pendapat sebagian dari para ulama pent)
3. Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi kepada Hakim bin Hazam " Janganlah kau jual apa yang bukan milikmu" (diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya). Artinya jangan engkau menjual seseuatu yang tidak ada dalam kepemilikanmu.

Berkata Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam kekuasaanya, kemudian setelah dijual dia beli barang yang lain lagi (yang semisal) dan diberikan kepada pemiliknya, maka jual beli ini bathil

Bagi (Barang) yang diaqadi
• Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq, maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya seperti khomer, alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam " Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual bangkai, khomer, dan patung (Mutafaq alaihi). Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan " mengharamkan khomer dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya, mengharamkan babi dan harganya", Tidak sah pula menjual minyak najis atau yang terkena najis, berdasarkan sabda Nabi " Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu (barang) mengharamkan juga harganya ", dan di dalam hadits mutafaq alaihi: disebutkan " bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak itu dipakai untuk memoles perahu, meminyaki (menyamak kulit) dan untuk dijadikan penerangan", maka beliau berata, " tidak karena sesungggnya itu adalah haram.".
• Yang diaqadi baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan (dikuasai) menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual belinya, seperti tidak sah membeli seorang hamba yang melarikan diri, seekor unta yang kabur, dan seekor burung yang terbang di udara, dan tidak sah juga membeli barang curian dari orang yang bukan pencurinya, atau tidak mampu untuk mengambilnya dari pencuri karena yang menguasai barang curian adalah pencurinyasendiri..
• Barang yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang beraqad, karena ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk penipuan, sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah membeli sesuatu yang dia tidak melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia tidak mengetahui (hakikat) nya. Dengan demikian tidak boleh membeli unta yang masih dalam perut, susu dalam kantonggnya. Dan tidak sah juga membeli sesuatu yang hanya sebab menyentuh seperti mengatakan "pakaian mana yang telah engkau pegang, maka itu harus engkau beli dengan (harga) sekian " Dan tidak boleh juga membeli dengam melempar seperti mengatakan "pakaian mana yang engaku lemparkan kepadaku, maka itu (harganya0 sekian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan hasil memegang dan melempar" (mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual dengan mengundi (dengan krikil) seperti ucapan " lemparkan (kerikil) undian ini, maka apabila mengenai suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian "


RUKUN JUAL BELI
Sebuah transaksi jual beli membutuhkan adanya rukun sebagai penegaknya. Dan rukunnya ada tiga perkara, yaitu: [1] Adanya pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi syarat, [2] Adanya akad/ transaksi [3] Adanya barang/ jasa yang diperjual-belikan.
1. Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku yang harus berakal dan baligh.
Maka jual beli tidak memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk orang yang kurang akalnya (idiot).
Demikian juga jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh tidak sah, kecuali bila yang diperjual-belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil. Namun bila seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.
Sebagaimana dibolehkan jual beli dengan bantuan anak kecil sebagai utusan, tapi bukan sebagai penentu jual beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah toko, jual beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau suruhan saja.
2. Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam jual beli. Akad itu seperti: Aku jual barang ini kepada anda dengan harga Rp 10.000".lalu pembeli menjawab, “Aku terima.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya. Namun ulama lain membolehkan akad jual beli dengan sistem mu’athaah, yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3. Adanya Barang/ Jasa Yang Diperjual-belikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual beli menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Suci
Benda-benda najis bukan hanya tidak boleh diperjual-belikan, tetapi juga tidak sah untuk diperjual-belikan. Seperti bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan dan lainnya. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ, وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ, وَالْمَيْتَةِ, وَالْخِنْزِيرِ, وَالْأَصْنَامِ
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Makkah pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR Muttafaq Alaih)
Bank Darah Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak boleh didapat dari jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan bahwa bank darah yang mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun tidak melakukan penjualan darah untuk pasien.
Kalau ada pembayaran, bukan termasuk kategori memperjual-belikan darah, melainkan biaya untuk memproses pengumpulan darah dari para donor, penyimpanan, pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain yang dibutuhkan. Namun secara akad, tidak terjadi jual beli darah, karena hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga dengan kotoran ternak yang oleh umumnya ulama dikatakan najis, hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran itu sangat berguna bagi para petani untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu mereka tidak melakukan jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan saja bukan dengan akad jual-beli. Pihak petani hanya menanggung biaya penampungan kotoran, pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan harga kotoran hewan, sehingga tidak termasuk jual beli.
b. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Punya Manfaat
Yang dimaksud dengan barang harus punya manfaat adalah bahwa barang itu tidak bersungsi sebaliknya. Barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia.
Oleh karena itu para ulama As-Syafi’i menolak jual beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatul-lahwi yang memalingkan orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jual beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka.Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya. (Lihat Kifayatul Akhyar jilid 1 halaman 236).
c. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Dimiliki Oleh Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (wilayah) atau wakil. Yang dimaksud menjadi wali (wilayah) adalahbila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain. Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi, di mana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut:
Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya. (HR Tirmizi - Hadits hasan)
Namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.
Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi’i membolehkan jual beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, teapi hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad jual beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah dianggap sah. Dalilnya adalah hadits berikut ini:
‘Urwah ra berkata, “Rasulullah SAW memberi aku uang 1 Dinar untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku belikan untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1 Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil aku ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda, “Semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu.” (HR Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Harus Bisa Diserahkan
Maka menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena tidak jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak. Demikian juga tidak sah menjual burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara pisik maupun secara hukum. Demikian juga ikan-ikan yang berenang bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa dipastikan penyerahannya.
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Diketahui Keadaannya
Barang yang tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.
Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual beli dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung. Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa dtetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
Dalam jual beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tehnik, misalnya:
• Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
• Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang.
• Garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.

JUAL BELI YANG TIDAK SAH MENURUT HUKUM
ATAU SYARATNYA

1. Menjual tanggungan dengan tanggungan

Menjual tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan hutang.

Telah diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan tanggungan dalam sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual tanggungan dengan tanggungan. (Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syarhul Ma'ani IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:71, juga oleh al-Hakim II:57, dan oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam at-Talkhish III:26, dari Imam Ahmad: "Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Akan tetapi ijma' kaum muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak boleh." Sementara Imam ath-Thahawi menyatakan: "Ahlul hadits menafsirkan hadits ini dengan riwayat Abu Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam sanadnya. Ini merupakan bab besar dalam ilmu fiqih." Lihat Musykilul Atsar II: 266.)
2. Jual Beli dan Syarat

Syariat Islam yang suci telah memerintahkan ditunaikannya janji dengan komitmen yang menjadi persyaratan janji tersebut, kecuali apabila syarat itu berbentuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian.." (Al-Maidah: 1).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Kaum muslimin selalu terikat dengan persyaratan (perjanjian) sesama mereka, terkecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal." Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1353. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2353. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:27. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi VI:79. Sanadnya lemah sekali karena adanya Katsier bin Abdullah, dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Karena hadits ini sesuai dengan dasar-dasar ilmu hadits dan dinyatakan hasan oleh al-Bukhari. Dinukil oleh at-Tirmidzi dari perawi yang sama

Para ulama telah membagi persyaratan dalam berbagai transaksi jual beli kepada persyaratan yang disyariatkan dan yang tidak disyariatkan. Sebelumnya telah penulis jelaskan dalam pem-bahasan ini keunggulan pendapat bahwa asal dari aktivitas jual beli dan syaratnya adalah mubah, sebelum ada dalil yang meng-haramkannya. Oleh sebab itu penulis di sini cukup menyebutkan syarat-syarat yang tidak disyariatkan. Selain dari itu, berarti dalam kondisi aslinya, yakni dibolehkan.

Kalangan Malikiyah memahami larangan dalam hadits ten-tang menjual dengan syarat, ( Dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath 4361. Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam Ulumul Hadits 128, yakni hadits yang amat kacau sekali. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadits itu adalah batil dalam Majmu' al-Fatawa VIII: 63.) bahwa syarat di situ adalah yang bertentangan dengan konsekuensi jual beli atau yang menyebab-kan rusaknya harga jual.

Syarat bertentangan dengan konsekuensi perjanjian itu adalah seperti seorang penjual mensyaratkan terhadap pembeli agar tidak menjual kembali dagangannya itu kepada orang lain, atau agar si pembeli tidak mengenakan barang beliannya itu, atau agar ia tidak mengendarainya, tidak meninggalinya dan tidak menyewakannya. Atau bila si pembeli menjual kembali barangnya itu, maka si penjual yang lebih berhak mengambil keuntungan-nya. Para ulama mengecualikan sebagian bentuk aplikasinya yang kemudian mereka bolehkan, seperti menjual budak wanita dengan syarat harus dibebaskan, karena ajaran syariat memang mengi-nginkan sekali budak wanita itu dibebaskan. Atau seorang penjual yang memberi persyaratan agar objek jualan itu diwakafkan, dihibahkan atau disedekahkan. Karena itu termasuk amal keba-jikan yang dianjurkan oleh Islam.

Kemudian syarat yang menyebabkan rusaknya harga adalah seperti persyaratan dari salah satu pihak untuk meminjam objek jualan. Karena hal itu dapat menyebabkan ketidakjelasan harga barang, atau bisa juga menggiring kepada semacam riba, bila dili-hat dari sisi pinjaman yang mendatangkan keuntungan. Karena penentuan harga menjadi tidak adil karena pertimbangan pemin-jaman barang tersebut. Kalau syarat peminjaman itu dari pembeli, jelas itu merusak harga, karena menyebabkan ketidakjelasan harga barang karena bertambah. Peminjaman barang itu sendiri termasuk harga yang tidak diketahui. Kalau seandainya persya-ratan peminjaman itu berasal dari penjual, itu juga menyebabkan rusaknya harga karena terjadinya pengurangan. Karena pemin-jaman yang dilakukan oleh penjual itu masuk dalam harga yang tidak diketahui.

Sementara kalangan Hambaliyah menafsirkan syarat yang dilarang itu sebagai syarat yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian, atau persyaratan yang menghilangkan konsekuensi-nya. Atau persyaratan yang menyebabkan jual beli menjadi ter-gantung.

Syarat yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian adalah sebagaimana telah dicontohkan di atas, seorang penjual yang memberi syarat kepada pembeli agar tidak menjual, mem-berikan, membebaskan barang jualannya, dan sejenisnya. Yakni segala persyaratan yang menghalangi pembeli untuk secara bebas menggunakan hasil beliannya.

Sementara syarat yang melenyapkan konsekuensi perjanjian adalah seperti seorang pelaku memberi persyaratan kepada pihak lain sebuah bentuk perjanjian tersendiri lagi, seperti perjanjian jual beli, perjanjian as-Salm, perjanjian peminjaman, penyewaan, kerjasama dan sejenisnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah melarang hal itu. Beliau melarang kita melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu transaksi jual beli.

Adapun syarat yang membuat jual beli menjadi tergantung misalnya ucapan penjual, "Saya jual barang ini kepadamu, kalau si Fulan ridha." Atau ucapan pembeli, "Saya akan beli barang ini, kalau si Fulan sudah datang." Kedua macam transaksi jual beli itu tidak sah menurut kalangan Hambaliyah. Karena konsekuensi jual beli adalah pemindahan kepemilikan pada saat akad, sementara dengan adanya persyaratan demikian, tentu saja tidak mungkin.

Lain lagi dengan kalangan Hanafiyah, mereka menafsirkan larangan syarat dalam jual beli itu, bahwa yang dimaksudkan dengan syarat adalah syarat yang bukan termasuk bagian perjan-jian, atau tidak relevan dengan perjanjian namun bermanfaat bagi salah satu pihak pelaku, bagi orang lain, atau bagi kepentingan objek perjanjian tersebut yang menjadi milik orang yang berhak, sementara kebiasaan tidak berjalan demikian, dan syariat juga tidak mengizinkannya.

Berkaitan dengan syarat demi kepentingan salah satu pihak yang bertransaksi mereka memberi contoh seperti menjual rumah dengan syarat si penjual boleh meninggalinya selama sebulan, atau menjual tanah dengan syarat si penjual boleh menanaminya selama setahun, atau menjual mobil dengan syarat si penjual bo-leh mengendarainya selama satu minggu, dan sejenisnya.

Syarat demi kepentingan orang lain, seperti menjual ha-laman luas dengan syarat boleh dibangun masjid di atasnya, atau menjual makanan agar si pembeli menyedekahkannya.

Sementara syarat demi kepentingan objek perjanjian itu sendiri adalah seperti menjual budak wanita untuk dibebaskan, meskipun persoalan ini masih diperdebatkan di kalangan Hana-fiyah sendiri. Mereka menganggap manfaat atau kepentingan itu sebagai bagian dari riba, karena merupakan syarat tambahan da-lam sebuah perjanjian yang tidak diberi kompensasi. Itu sama dengan riba, atau paling tidak menyerupainya.

Berkaitan dengan syarat demi kepentingan objek perjanjian itu mereka mengecualikan yang sudah menjadi kebiasaan, seperti membeli pakaian dengan syarat ditambal bagiannya yang robek, atau membeli topi dengan syarat dibuatkan pengikatnya, karena itu sudah menjadi kebiasaan. Mereka juga mengecualikan yang disahkan dalam ajaran syariat melalui dalil, seperti persyaratan pembayaran tertunda, syarat hak pilih dan sejenisnya, karena Islam telah membolehkan semua persyaratan tersebut.

Yang paling tepat menurut kami setelah memaparkan selu-ruh pendapat ini bahwa syarat yang bertentangan dengan konse-kuensi perjanjian jual beli adalah syarat yang rusak, seperti syarat agar barang yang dijual belikan tidak boleh dijual lagi, tidak boleh dihibahkan dan sejenisnya. Atau syarat yang bertentangan dengan konsekuensi ajaran syariat, seperti yang menggiring kepada per-buatan menghalalkan yang haram, atau menyebabkan harga barang menjadi tidak jelas, atau penggandaan jumlah transaksi, atau persyaratan adanya perjanjian lain seperti penjualan, penyewaan, peminjaman dan lain-lain. Adapun syarat demi kepentingan ter-tentu, pihak Hanafiyah sendiri mengatakan bahwa persoalan ini masih perlu diselidiki kembali, karena adanya hadits Jabir yang menceritakan bahwa ia pernah menjual untanya kepada Nabi dengan persyaratan tetap mengendarainya hingga sampai ke kota Madinah.
3. Dua Perjanjian Dalam Satu Transaksi Jual Beli

Membuat dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli merupakan hal yang dilarang dalam syariat. Diriwayatkan adanya sejumlah dalil yang melarang perbuatan tersebut. Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah tentang larangan Rasulullah terhadap hal tersebut.
4. Menawar Barang yang Sedang Ditawar Orang Lain

Adapun menawar barang yang masih ditawar orang lain, yakni seperti dua pihak yang melakukan transaksi jual beli lalu sama-sama sepakat pada satu harga tertentu, lalu datang pembeli lain yang menawar barang yang menjadi objek transaksi mereka dengan harga lebih mahal, atau dengan harga yang sama, hanya saja karena ia orang yang berkedudukan, maka si penjual lebih cenderung menjual kepada orang itu, karena melihat kedudukan orang kedua tersebut.

Kalau kedua orang itu saling tawar menawar, lalu terlihat indikasi bahwa keduanya tidak bisa menyepakati satu harga, tidak diharamkan untuk menawar barang transaksi mereka. Namun kalau belum kelihatan apakah mereka telah memiliki kesepakatan harga atau tidak, penawaran dari pihak pembeli lain untuk sementara ditahan.
5. Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun

Hadirah (kota) adalah lawan dari badiyah (dusun). Sementara kata hadir (orang kota) adalah orang yang terbiasa tinggal di kota-kota, perkampungan modern dan sejenisnya. Sementara bady (orang dusun) adalah orang yang tinggal di pedusunan. Dusun adalah selain kota dan perkampungan maju. Kalangan Hambaliyah bahkah memahaminya secara lebih luas lagi. Mereka meng-anggap bahwa orang dusun adalah semua orang yang tinggal di pedusunan, dan juga setiap orang yang masuk ke satu desa sementara ia bukan penduduk asli desa tersebut, baik ia orang du-sun dalam arti sesungguhnya, atau orang desa, atau orang kota lain.

Arti Dari Penjualan, 'Orang Kota Menjualkan Barang Kepada Orang Dusun'

Yang dimaksudkan dengan istilah orang kota menjadi calo bagi orang dusun menurut mayoritas ulama adalah orang kota menjadi calo pedagang orang dusun. Ia mengatakan kepada peda-gang dusun itu, "Kamu jangan menjual barang sendiri, saya lebih tahu tentang masalah jual beli ini." Akhirnya si pedagang bergan-tung kepadanya, menjual barangnya dan pada akhirnya ia mema-sarkan barang dengan harga tinggi. Kalau si calo membiarkannya berjual-beli sendiri, pasti ia bisa menjual dengan harga lebih mu-rah kepada orang lain.

Hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan bahwa beliau bersabda: "Barangsiapa yang melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka hendaknya ia mengambil yang paling sedikit, kalau tidak ia telah mengambil riba."

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Hadits Ibnu Mas'ud bahwa ia menceritakan, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang adanya dua perjanjian dalam satu transaksi."

Dalam riwayat lain disebutkan, "Tidaklah pantas melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi."
6. Menjual Anjing
Jual beli anjing bukanlah bisnis yang Islami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu Mas'ud -rodhiyallahu 'anhu- telah melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun." Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Buyu', bab: Hasil Menjual Anjing, nomor 2237. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Musaqat, bab: diharamkannya hasil menjual anjing, nomor 1567.

Dalam hadits Juhaifah diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hasil menjual darah, anjing dan hasil usaha budak wanita.." HR. al-Bukhari

Dengan alasan ini, kalangan Syafi'iyah dan Hambaliyah menganggap tidak sah menjual anjing, anjing apapun juga, mes-kipun anjing yang sudah dilatih berburu. Sementara kalangan Malikiyah membedakan antara anjing yang boleh dipelihara, se-perti anjing buru, dan anjing penjaga, dengan anjing-anjing lain. Kelompok pertama mereka membolehkan untuk dijual, sementara selain itu tidak boleh, karena hadits:
"Rasulullah mengharamkan hasil jualan anjing, kecuali anjing buru." (HR. An-Nasa’i).
7. Berdagang Alat-alat Musik dan Hiburan

Sudah jelas, bahwa apabila Allah mengharamkan sesuatu, tentu Allah juga mengharamkan menjualnya dan memperdagangkannya. Dengan alasan itu, mayoritas ulama mengharamkan berjualan alat-alat musik dan hiburan yang diharamkan, kecuali yang boleh digunakan (duff/rebana). Bahkan mereka secara tegas menyatakan bahwa jual beli barang-barang semacam itu tidak sah. mayoritas ulama berpendapat akan haramnya menjual semua alat-alat hiburan dan alat-alat musik yang diharamkan. Karena semua alat-alat itu dibuat untuk per-buatan maksiat, sehingga tidak lagi bernilai dan transaksi penju-alannya batal, seperti halnya minuman keras. Karena salah satu dari syarat objek transaksi adalah harus bisa dimanfaatkan sesuai syariat, meskipun sedikit kegunaannya, seperti tanah misalnya. Diharamkannya alat-alat tersebut menggugurkan fasilitasnya yang sesuai dengan syariat, sehingga menjualnya juga haram.
8. Berjualan Ketika Dikumandangkan Adzan Jum’at

Di antara fenomena yang tidak lepas dari pandangan mata di tengah masyarakat barat adalah tersebarnya satu bentuk fenomena, yakni jual beli saat dikumandangkannya adzan Jum’at. Padahal sudah ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dalam Kitabulla, yakni dalam firmanNya:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada meng-ingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui…" (Al-Jum'ah: 9).
JUAL BELI YANG TERLARANG

Allah Ta’ala membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya.

Jual Beli Ketika Panggilan Adzan
Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua, berdasarkan Firman Allah Ta’ala :“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al Jumu’ah : 9).

Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang menghalanginya untuk melakukan Shalat Jum’at. Allah mengkhususkan melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering) menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Kemudian Allah mengatakan “dzalikum” (yang demikian itu), yakni yang Aku telah sebutkan kepadamu dari perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri Shalat Jum’at adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui akan maslahatnya. Maka, melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli sehingga mengabaikan shalat Jumat adalah juga perkara yang diharamkan.

Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk menghadirinya. Allah Ta’ala berfirman “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (QS. 24:36-37-38).

Jual Beli Untuk Kejahatan
Demikian juga Allah melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Allah. Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala “Janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatuan dosa dan permusuhan (Ai Maidah : 2)”
Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang lainnya di waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya tidak menjadi penyebab adanya pembunuhan. Allah dan Rasul-Nya telah melarang dari yang demikian.

Ibnul Qoyim berkata
"Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa maksud dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim. Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi sabilillah maka ini adalah keta’atan dan qurbah. Demikian pula bagi yang menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan."

Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim
Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir. Allah ta’ala telah berfirman “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS. 4:141).
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Islam itu tinggi dan tidak akan pernah ditinggikan atasnya" (shahih dalam Al Irwa’ : 1268, Shahih Al Jami’ : 2778)

Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya
Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga sepuluh, “Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga sembilan”.. Atau perkataan “Aku akan memberimu lebih baik dari itu dengan harga yang lebih baik pula”. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian lainnya.”(Mutafaq alaihi). Juga sabdanya: “Tidaklah seorang menjual di atas jualan saudaranya (Mutfaq ‘alaih)”.
Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya. Seperti mengatakan terhadap orang yang menjual dengan harga sembilan : “Saya beli dengan harga sepuluh”
Kini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang diharamkan seperti ini terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta mengingkari segenap pelakunya.

Samsaran
Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya, pent). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :“Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang dating ke kota)”

Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata: “Tidak boleh menjadi Samsar baginya”(yaitu penunjuk jalan yang jadi perantara penjual dan pemberi). Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Biarkanlah manusia berusaha sebagian mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki Allah, (Shahih Tirmidzi, 977, Shahih Al Jami’ 8603”

Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim) pergi menemui penduduk kampung (pendatang) dan berkata “Saya akan membelikan barang untukmu atau menjualkan“. Kecuali bila pendatang itu meminta kepada penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang”

Jual Beli dengan ‘Inah
Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara ‘inah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan. Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah’ dan telah sibuk dengan ekor-ekor sapi (sibuk denngan bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat kehinaan dari kalian, sampai kalian kembail kepada agama kalian.” (Silsilah As Shahihah : 11, Shahih Abu Dawud : 2956) dan juga sabdanya “ Akan datang pada manusia suatu masa yang mereka menghalalkan riba dengan jual beli “ (Hadits Dha’if , dilemahkan oleh Al Albany dalam Ghayatul Maram : 13)
Wallahu a’lam

PENUTUP

Jual beli dalam Islam diharapkan menjadi cikal bakal dari sebuah sistem pasar yang tepat dan sesuai dengan alam bisnis. Sistem pasar yang tepat akan menciptakan sistem perekonomian yang tepat pula. Maka, jika kita ingin menciptakan suatu sistem perekonomian yang tepat, kita harus membangun suatu sistem jual beli yang sesuai dengan kaidah syariah Islam yang dapat melahirkan khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi ini. Hal tersebut dapat tercipta dengan adanya kerjasama antara seluruh elemen yang ada di pasar, yang disertai dengan kerja keras, kejujuran dan mampu melihat peluang yang tepat dalam membangun bisnis yang dapat berkembang dengan pesat.
Dalam jual beli pun kita harus mengetahui hukum,syarat, dan rukun jual beli sehingga orang yang melaksanakan jual beli dapat berjalan dengan baik. Aktivitas jual beli mampu melatih kita untuk menjadi orang yang pemurah dan senantiasa berbagi dengan sesama. Zakat, infak, dan shadaqah adalah media yang tepat untuk membangun hal tersebut.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Rasional Larangan Riba di http://muslimvillage.wordpress.com/2009/07/05/usury/